Surabaya,20 Agustus 2025 -Konsultansi Rystad Energy mencatat bahwa batu bara masih memasok lebih dari setengah listrik Asia tahun lalu, dan diperkirakan wilayah ini memerlukan sekitar 8,8 juta ton per tahun (mtpa) amonia pada 2030 untuk mendukung target transisi energi
Rystad Energy menyebutkan bahwa Tiongkok, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan menjadi pusat utama pengembangan teknologi ko-pembakaran amonia, yaitu mencampur amonia rendah karbon dengan batu bara atau gas alam untuk pembangkit listrik
Namun, kesenjangan kebijakan dan lemahnya permintaan pasar menjadi hambatan bagi investasi infrastruktur yang dibutuhkan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar ini
Menurut Minh Khoi Le, Kepala Riset Hidrogen di Rystad Energy:
“Hidrogen dan amonia akan memainkan peran yang semakin besar dalam dekarbonisasi sektor tenaga listrik Asia, namun banyak kemajuan tergantung pada kemitraan asing dan perjanjian offtake jangka panjang. Meski biaya hidrogen tinggi, data kami menunjukkan permintaan amonia untuk pembangkit listrik diperkirakan meningkat sembilan kali lipat pada 2030. Namun tanpa komitmen offtake yang kuat dan percepatan pengembangan infrastruktur impor, pertumbuhan ini bisa terhenti.”.
Ko-pembakaran amonia lebih mahal daripada pembangkit batu bara murni, terutama karena biaya produksi, konversi, dan transportasi hidrogen yang tinggi. Rystad memperkirakan bahwa, jika harga hidrogen berada di angka USD 5 per kg (sekitar USD 1.000 per ton amonia), maka biaya listrik rata-rata (levelised cost of electricity) untuk campuran 10% amonia bisa 50% lebih tinggi daripada pembangkit batu bara biasa.
Tiongkok dan Indonesia telah mulai mengeksplorasi ko-pembakaran amonia lebih awal, sementara Tiongkok juga memasukkan penggunaan bahan bakar ini dalam Rencana Aksi Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional 2024–2027. Mulai 2027, pembangkit batu bara yang ditingkatkan atau baru di Tiongkok diwajibkan mengurangi emisi hingga setengah dari level 2023, dengan ko-pembakaran 10% biomassa dan amonia hijau, serta teknologi penangkapan karbon.
Di Mongolia Dalam (Inner Mongolia), Tiongkok sedang mengembangkan kapasitas produksi hidrogen dan amonia rendah karbon. Tahun ini, Envision Energy telah meresmikan pabrik amonia hijau terbesar dunia di Chifeng dengan kapasitas awal 0,32 mtpa, yang direncanakan berkembang menjadi 1,5 mtpa pada 2028. Tiongkok berpotensi menjadi pemasok untuk wilayah tersebut, meski volume permintaan masih belum jelas.
Di Korea Selatan, dorongan untuk memperkuat pembangkit listrik berbasis hidrogen bersih diarahkan hingga 2029. Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi telah meluncurkan lelang kedua senilai 3 terawatt-jam (TWh) listrik dengan kontrak jangka panjang 15 tahun. Lelang 2024 hanya menarik sedikit peserta, dengan hanya satu pembangkit yang memenuhi kriteria evaluasi. Untuk meningkatkan partisipasi, tahun ini pemerintah menerapkan sistem penyelesaian berbasis kurs valuta asing (exchange rate-linked) dan sistem peminjaman hidrogen.
Sementara itu, Jepang telah mengamankan kontrak impor amonia rendah karbon — termasuk blue ammonia (dari AS) dan green ammonia (dari Tiongkok dan India). Pemerintah Jepang diperkirakan akan segera mengumumkan pemenang program kontrak perbedaan harga (contract for difference) untuk mendukung strategi amonia sebagai bahan bakar pembangkit listrik pada awal tahun depan